Artikel

Butuh Keberanian untuk Laporkan KDRT

BERULANG kali muncul pendapat yang menyebutkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bagaikan fenomena gunung es. Kasus yang muncul di permukaan tak sebanyak kasus yang tidak dilaporkan ke kepolisian serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).

 


 

Di Indonesia, KDRT ditindak dengan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT (PKDRT). Kepolisian menjadi lembaga yang menindak kasus KDRT secara hukum sesuai UU PKDRT. Penindakan tersebut berkolaborasi dengan Kemen PPPA, termasuk upaya pencegahannya.

 

Data e-MP Robinopsnal Bareskrim Polri menyebutkan kepolisian menindak 5.271 kasus KDRT sejak awal tahun. Kekerasan meliputi fisik, seksual, penelantaran, hingga bentuk kekerasan lain.

 

Sementara Kemen PPPA menangani 19.150 kasus KDRT mulai 1 Januari sampai 11 Oktober 2022. Kasus-kasus tersebut dilayani dalam bentuk pengaduan, pendampingan kesehatan, penegakan hukum, hingga pendampingan tokoh agama.

 

 


 

Butuh keberanian besar untuk melapor

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA Valentina Gintings mengingatkan bahwa KDRT bukanlah aib. Bila ada perempuan dalam sebuah keluarga, atau anak-anak, yang menjadi korban KDRT, sebaiknya segera melapor ke polisi atau Kemen PPPA. Keluarga pun baiknya memberikan dukungan dan bantuan secara moril kepada korban.

 

Kekerasan itu berupa perbuatan tak menyenangkan yang dialami orang dalam sebuah lingkup rumah tangga. Perbuatan itu menimbulkan dampak kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga.

 

“Kebanyakan kasus KDRT terjadi karena faktor ekonomi. Apalagi di masa pandemi ini, tren kasus dan angka laporan KDRT meningkat drastis. Bisa dikatakan kenaikan angka laporan itu berarti masyarakat sudah bisa lebih aware dan berani speak up,” ujar Valentina dikutip dari artikel berjudul KDRT Bukanlah Aib, Kementerian PPPA Jamin Perlindungan Privasi Korban di laman www.jawapos.com.

 

Valentina mengakui masih banyak korban yang tak mau melaporkan KDRT. Sebab, mereka takut mendapat ancaman. Terlebih, adanya anggapan yang menyebutkan KDRT sebagai aib keluarga yang tak perlu diketahui orang lain.

 

“Melaporkan kasus KDRT itu tak mudah. Butuh keberanian yang besar. Tapi, tidak perlu takut karena siapa saja yang berani melapor, perlindungan hak privasinya terjamin,” terang Valentina.

 


 

Korban minim pengetahuan

Fenomena KDRT membuat dokter spesialis forensik dr Edy Suharto mengakui pernyataan tentang KDRT layaknya fenomena gunung es. Dokter Edy mengungkapkan jumlah korban KDRT cukup banyak melakukan visum di instalasi rawat darurat (IRD) RSUD Syamrabu Bangkalan, Jawa Timur.

 

Tapi, ia memperkirakan masih banyak korban yang memilih diam daripada melakukan visum atau melapor ke polisi. Sebab, lanjutnya, masih banyak perempuan yang minim pengetahuan dan kesadaran tentang hukum.

 

“Usaha penghapusan KDRT cukup sulit karena merupakan urusan internal rumah tangga dan dianggap memalukan jika diketahui banyak orang,” ujar Dokter Edy dikutip dari artikel berjudul KDRT Seperti Fenomena Gunung Es di laman www.radarmadura.jawapos.com.

 

Dokter Edy mengatakan pemerintah sudah melakukan upaya penghapusan KDRT. Salah satunya dengan menerbitkan dan memberlakukan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Namun, masalah KDRT belum sepenuhnya hilang.

 

 Polri beri perhatian khusus


Perempuan dan anak menjadi kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban KDRT. Di aplikasi e-MP Robinopsnal Bareskrim Polri, perempuan yang menjadi korban KDRT jauh lebih banyak ketimbang laki-laki. Data menunjukkan jumlah perempuan yang menjadi korban sebanyak 4.218 orang, sedangkan laki-laki sebanyak 408. orang. Data itu didapat dari 1 Januari sampai 11 Oktober 2022.

 

Lantaran itu, Kapolri Jenderal Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si memberikan perhatian khusus pada perlindungan perempuan dan anak dari tindak kejahatan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Kapolri terus berkoordinasi meningkatkan status unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) di Bareskrim menjadi direktorat.

 

Direktorat itu akan memaksimalkan pelayanan untuk melindungi perempuan dan anak, terutama korban kekerasan. Nantinya, kata Kapolri, sebagian besar polisi wanita bertugas di direktorat tersebut.

 

“Sehingga korban yang akan melaporkan akan merasa nyaman, dan tentunya juga ada pendampingan psikologi, dan juga didampingi polisi-polisi wanita. Sehingga, betul-betul bisa memberikan perlindungan,” ungkap Kapolri dalam rilis akhir tahun 2021 di Mabes Polri, Jakarta.

 

Sebagai informasi, sesuai dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15 ayat (1) huruf j, Polri berwenang menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal (Pusiknas). Pusiknas berada di bawah Bareskrim Polri serta berlandaskan regulasi Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pusat Informasi Kriminal Nasional di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

Pusiknas Bareskrim Polri memiliki sistem Piknas untuk mendukung kinerja Polri khususnya bidang pengelolaan informasi kriminal berbasis teknologi informasi dan komunikasi serta pelayanan data kriminal baik internal dan eksternal Polri dalam rangka mewujudkan Polri yang PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan).

 

--- Pusiknas Bareskrim Polri, Valid dan Tepercaya ---