Artikel
INGAT! Anak Nakal karena Frustasi dan Memendam Masalah
BULLY atau perundungan termasuk kasus penganiayaan.
Bila ada yang melaporkan penganiayaan terhadap anak, maka terlapor akan
diproses secara hukum dan terancam hukuman maksimal dua tahun delapan bulan
penjara.
“Bully merupakan salah satu bentuk kenakalan remaja,” kata Bripka Abdul Muzizat, anggota Bhabinkamtibmas Polsek Pasar Kemis dalam kegiatan sosialisasi dan penyuluhan yang digelar di aula SMP Permata Insani Islamic School Kabupaten Tangerang, Jumat 8 Oktober 2024.
Anggota Polisi yang akrab disapa Pak Bobby itu mengingatkan para siswa peserta sosialisasi untuk menghindari kenakalan remaja yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Bukan hanya itu, masa depan pelaku maupun korban pun dipertaruhkan.
Salah satu penyebab anak melakukan tindakan nakal adalah karena frustasi dan memendam masalah. Misalnya, anak yang memiliki masalah di rumah melampiaskan rasa marahnya kepada teman di sekolah. Untuk itu, Pak Bobby meminta peserta sosialisasi untuk menemukan sosok yang dipercaya sebagai tempat mencurahkan hati, utamanya orang dewasa.
“Bisa orang tua, bisa guru. Yang penting jangan sampai salah pilih teman, karena teman dan pergaulan yang buruk bisa berujung kepada kenakalan remaja,” lanjut Pak Bobby.
Pak Bobby pun mengingatkan pihak sekolah dan orang tua lebih memerhatikan pergaulan anak-anak. Pak Bobby menyarankan orang tua untuk menjadi tempat curhat paling nyaman bagi anak-anak. Tanamkan kesadaran pada anak sejak dini tentang etika dan dampak kekerasan. Awasi kegiatan dan pergaulan anak-anak di dunia nyata maupun dunia maya. Bila anak punya hobi, orang tua sebaiknya berikan dukungan dan jangan ragu untuk memfasilitasinya sesuai kemampuan.
Sedangkan untuk pihak sekolah, Pak Bobby menyarankan guru memerhatikan dan memantau kegiatan anak-anak di lingkungan sekolah. Lakukan komunikasi tiga arah, mulai dari guru, anak, dan orang tua.
Pak Bobby mendukung guru memberikan teguran keras bila kenakalan para siswa sudah tidak bisa ditoleransi. Menurut Pak Bobby, tindakan itu bertujuan memberikan pendidikan yang menciptakan efek jera pada siswa.
“Nah bila kalian (para siswa peserta sosialisasi) menemukan aksi kenakalan remaja, seperti tindakan bully, segera laporkan kepada guru maupun orang tua,” ujar Pak Bobby.
Anak usia 11 tahun lebih banyak jadi korban penganiayaan
Sementara itu, data di aplikasi EMP Pusiknas Bareskrim Polri mencatat 138 anak menjadi korban penganiayaan dari periode 1 sampai 11 November 2024. Aksi penganiayaan tak pandang bulu. Ada yang berjenis kelamin laki-laki, namun tak sedikit pula anak perempuan yang menjadi korban. Mirisnya, jumlah anak berusia 11 tahun ke bawah justru lebih banyak menjadi korban penganiayaan daripada anak berusia 12 sampai 17 tahun.
Data yang diakses pada Selasa 12 November 2024 itu pun menunjukkan 73 anak berusia 11 tahun ke bawah dilaporkan sebagai pelaku kasus penganiayaan. Jumlah tersebut jauh lebih banyak ketimbang jumlah terlapor yang berusia di rentang 12 sampai 17 tahun. Begitu pula dengan jumlah saksi yang lebih banyak berusia 11 tahun ke bawah yaitu 74 orang dibandingkan dengan jumlah anak berusia 12 sampai 17 tahun.
Dari data tersebut, sebuah fakta menyatakan anak yang usianya 11 tahun atau lebih muda dari itu lebih banyak menjadi korban, terlapor, dan saksi tindak penganiayaan. Data dan fakta tersebut harus menjadi perhatian bagi orang tua, sekolah, masyarakat, serta paling penting, perhatian pemerintah.
Psikolog anak dan keluarga Sani B Hermawan mengatakan anak yang menjadi korban, terlapor, bahkan saksi penganiayaan tak mudah melupakan pengalaman tersebut. Anak yang menjadi korban cenderung lebih sensitif, mudah menangis, tidak percaya dengan orang baru, dan tidak mau ketemu orang. Sani menyarankan anak-anak yang menjadi korban perlu mengikuti kegiatan penyembuhan trauma.
“Setelah anak merasa nyaman, kepercayaan pada orang dewasa terbangun lagi,” ujar psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu yang dikutip dari artikel berjudul Ini Dampak Psikologis pada Anak Usai Jadi Korban Kekerasan diunggah di laman www.republika.co.id.
Sedangkan anak yang menjadi pelaku kekerasan cenderung kurang mendapatkan kasih sayang sehingga ia mencari pemuasan psikologis di luar keluarga. Itu dari sisi internal. Sedangkan dari sisi eksternal, psikolog anak dan remaja Irma Gustiana mengatakan anak menjadi pelaku tindak kriminal karena pengaruh dari pergaulan. Ia ingin mendapatkan pengakuan dari teman-teman sebayanya.
Bukan hanya korban yang mendapat trauma. Anak yang menjadi pelaku tindak kriminal pun mendapatkan trauma yang lahir dari proses hukum dan tekanan publik. Tanpa penanganan yang tepat, tindak kekerasan dapat merusak masa depan korban dan pelaku. Hal ini berkontribusi pada siklus kekerasan antargenerasi.
Sebagai informasi, sesuai dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15 ayat (1) huruf j, Polri berwenang menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal (Pusiknas). Pusiknas berada di bawah Bareskrim Polri serta berlandaskan regulasi Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pencabutan Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pusat Informasi Kriminal Nasional di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pusiknas Bareskrim Polri memiliki sistem Piknas untuk mendukung kinerja Polri khususnya bidang pengelolaan informasi kriminal berbasis teknologi informasi dan komunikasi serta pelayanan data kriminal baik internal dan eksternal Polri dalam rangka mewujudkan Polri yang PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan).
--- Pusiknas Bareskrim Polri, Valid dan Tepercaya ---