Artikel

Jangan Anggap Enteng! Dampak Kekerasan pada Anak Berbekas hingga Dewasa

KEKERASAN tak hanya meninggalkan bekas luka pada tubuh anak, tapi juga emosional, perilaku menyimpang, dan penurunan fungsi otak. Bahkan kualitas hidup anak yang menjadi korban menurun. Luka itu membekas bahkan hingga korban berusia dewasa. Untuk itu, jangan anggap remeh tindak kejahatan dan kekerasan pada anak.

 

Kekerasan terhadap anak berupa fisik, seksual, psikologis, verbal, eksploitasi, penjualan anak, penelantaran anak, hingga pengabaian pada kesejahteraannya. Bukan hanya di dalam rumah, kekerasan pun berpotensi terjadi di sekolah maupun fasilitas umum.

 

Dampak kekerasan lebih dirasakan pria yang mengalami tindakan itu semasa ia masih kecil. Bahkan, depresi dan trauma dirasakan korban meski ia telah dewasa dan menjadi seorang ayah.




Baik Polri maupun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) beberapa kali menerima laporan kasus, termasuk seksual, seperti pedofil, ternyata pelaku pada saat masih saat masih kecil merupakan korban paedofil. Trauma di masa kecil masih korban rasakan hingga dewasa, yang berpotensi membuat korban menjadi pelaku kekerasan seksual.

 

“Luka itu kemudian terbawa-bawa, tidak bisa diselesaikan, kemudian berada dalam lingkungan keluarga yang terus menerus menerornya sampai dia besar hingga akhirnya terbawa terus dan kemudian mereka bisa menjadi pelaku,” kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kemen PPPA Valentina Gintings di artikel berjudul Kemen PPPA Khawatirkan Anak Korban Kekerasan Seksual Bisa Jadi Pelaku saat Dewasa di www.kumparan.com.

 

Bukan hanya korban, anak pun berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Ada beberapa hal yang menjadi pemicu anak-anak menjadi pelaku kekerasan. Satu di antaranya pelaku pernah menjadi korban kekerasan. Pengalaman menjadi korban kekerasan membuat seseorang merasa tak berdaya.

Namun, hal itu mengakibatkan korban tak ingin merasa tidak berdaya lagi. Bisa jadi, korban pun ingin balas dendam.

 

Gangguan kesehatan mental yang paling umum dihadapi anak korban kekerasan. Lantaran merasa frustasi dan mudah marah. Tak jarang, untuk mengatasi rasa tak tenang, anak melakukan kekerasan pada orang lain.

 


Untuk itu, anak yang menjadi korban kekerasan perlu mendapat bantuan dari psikolog atau psikiater. Sehingga korban mendapat bantuan untuk menanggulangi efek jangka panjang.

 

Bukan hanya korban, anak yang menjadi pelaku dan saksi pun mendapat perlindungan hukum. Indonesia memiliki Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk melindungi anak-anak yang mengalami masalah dengan hukum.

 

UU tersebut mengatur sistem peradilan pidana anak mulai dari penyelidikan, penyidikan, persidangan, hingga masa pembinaan. Selama menjalani proses hukum, anak didampingi orang tua, pekerja sosial, advokat, psikolog, psikiater, ahli pendidikan, hingga petugas khusus dari pembinaan masyarakat.

 


 

Bila anak menjadi korban

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendata 15.972 anak menjadi korban kekerasan sepanjang 2021. Jumlah tersebut meningkat dari 2020 dan 2019.

Bahkan pada Januari 2022, Kemen PPPA mencatat 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Data tersebut didapatkan dari laporan yang diterima Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA).


Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPA Nahar mengatakan terjadi peningkatan jumlah laporan kekerasan anak dari tahun ke tahun. Menurut Nahar, laporan meningkat sebab masyarakat mulai berani melaporkan kasus kekerasan yang dialami anak-anak.

 

"Ini tren, di satu sisi jumlah kasus semakin banyak terungkap. Di sisi lain tren positif karena masyarakat sudah berani melapor kemudian ini berdampak pada angka di Simfoni yang naik," kata Nahar dalam artikel berjudul Kemen PPPA: 797 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual Sepanjang Januari 2022 di www.kompas.com.

 

Kepekaan orang tua dan masyarakat dibutuhkan dalam perlindungan anak-anak. Bila ada kejadian kekerasan pada anak, orang tua dan masyarakat wajib melapor ke pihak berwenang.

 

“Jika mengetahui dan tidak melapor, sama artinya dengan membiarkan dan tidak menolong perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan,” ujar Nahar.

 

Saat melapor, orang tua dan masyarakat harus mendapat pendampingan dari lembaga atau dinas terkait. Pelapor mendapatkan perlindungan.

 

Kemen PPPA menyediakan layanan khusus penanganan kasus kekerasan pada anak. Yaitu SAPA 129. “Atau WhatsApp di nomor 081111129129,” lanjut Nahar.

 


 

Anak kurang kasih sayang berisiko jadi pelaku kekerasan

Kemen PPPA merilis hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPAR) pada 2018. Prevalensi pelaku kekerasan pada anak didominasi teman sebaya, bahkan lebih tinggi ketimbang keluarga. Survei dilakukan pada anak-anak yang berada di rentang usia 13 sampai 17 tahun.

 

“Anak yang bertindak kriminal biasanya disebabkan oleh kurang kasih sayang, sehingga mencari pemuasan psikologis di luar,” kata Psikolog Anak dan Remaja Irma Gustiana dalam artikel berjudul Saat Anak Menjadi Korban dan Pelaku Kekerasan di laman www.tirto.id.

 

Dari sisi eksternal, lingkungan pergaulan menjadi penyebab anak-anak menjadi pelaku kriminal. Salah satunya untuk mendapatkan pengakuan dari teman-teman sebaya atau se-gengnya.

 

“Bila mereka tidak dapat mengikuti pola pikir kelompoknya maka akan terjadi proses bullying dan labelling (kekerasan emosional) bahkan berlanjut kepada kekerasan fisik,” ungkap sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta Yuanita Aprilandini Siregar.

 

Tak hanya itu, korban kekerasan berpotensi dua kali lipat melakukan tindak kekerasan saat dewasa. Hal itu berkontribusi pada siklus kekerasan antargenerasi.

 


 

Sebagai informasi, sesuai dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15 ayat (1) huruf j, Polri berwenang menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal (Pusiknas). Pusiknas berada di bawah Bareskrim Polri serta berlandaskan regulasi Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pusat Informasi Kriminal Nasional di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pusiknas Bareskrim Polri juga memiliki sistem Piknas untuk mendukung kinerja Polri khususnya bidang pengelolaan informasi kriminal berbasis teknologi informasi dan komunikasi serta pelayanan data kriminal baik internal dan eksternal Polri dalam rangka mewujudkan Polri yang PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan).

--- Pusiknas Bareskrim Polri, Valid dan Tepercaya ---