Artikel
Jangan Anggap Enteng! Dampak Kekerasan pada Anak Berbekas hingga Dewasa
28 July 2022

KEKERASAN tak hanya
meninggalkan bekas luka pada tubuh anak, tapi juga emosional, perilaku
menyimpang, dan penurunan fungsi otak. Bahkan kualitas hidup anak yang menjadi
korban menurun. Luka itu membekas bahkan hingga korban berusia dewasa. Untuk
itu, jangan anggap remeh tindak kejahatan dan kekerasan pada anak.
Kekerasan terhadap anak berupa fisik, seksual, psikologis, verbal,
eksploitasi, penjualan anak, penelantaran anak, hingga pengabaian pada
kesejahteraannya. Bukan hanya di dalam rumah, kekerasan pun berpotensi
terjadi di sekolah maupun fasilitas umum.
Dampak kekerasan lebih dirasakan pria yang mengalami tindakan itu semasa ia masih kecil. Bahkan, depresi dan trauma dirasakan korban meski ia telah dewasa dan menjadi seorang ayah.
Baik Polri maupun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen
PPPA) beberapa kali menerima laporan kasus, termasuk seksual, seperti pedofil, ternyata pelaku pada saat masih saat masih
kecil merupakan korban paedofil. Trauma di
masa kecil masih korban rasakan hingga dewasa, yang berpotensi membuat korban
menjadi pelaku kekerasan seksual.
“Luka itu kemudian terbawa-bawa, tidak bisa diselesaikan, kemudian
berada dalam lingkungan keluarga yang terus menerus menerornya sampai dia besar
hingga akhirnya terbawa terus dan kemudian mereka bisa menjadi pelaku,” kata
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kemen
PPPA Valentina Gintings di artikel berjudul Kemen PPPA Khawatirkan Anak
Korban Kekerasan Seksual Bisa Jadi Pelaku saat Dewasa di www.kumparan.com.
Bukan hanya korban, anak pun berpotensi menjadi pelaku kekerasan.
Ada beberapa hal yang menjadi pemicu anak-anak menjadi pelaku kekerasan. Satu
di antaranya pelaku pernah menjadi korban kekerasan. Pengalaman menjadi korban
kekerasan membuat seseorang merasa tak berdaya.
Namun, hal itu mengakibatkan korban tak ingin merasa tidak berdaya
lagi. Bisa jadi, korban pun ingin balas dendam.
Gangguan kesehatan mental yang paling umum dihadapi anak korban
kekerasan. Lantaran merasa frustasi dan mudah marah. Tak jarang, untuk
mengatasi rasa tak tenang, anak melakukan kekerasan pada orang lain.
Untuk itu, anak yang menjadi korban kekerasan perlu mendapat
bantuan dari psikolog atau psikiater. Sehingga korban mendapat bantuan untuk
menanggulangi efek jangka panjang.
Bukan hanya korban, anak yang menjadi pelaku dan saksi pun
mendapat perlindungan hukum. Indonesia memiliki Undang Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk melindungi anak-anak yang
mengalami masalah dengan hukum.
UU tersebut mengatur sistem peradilan pidana anak mulai dari
penyelidikan, penyidikan, persidangan, hingga masa pembinaan. Selama menjalani
proses hukum, anak didampingi orang tua, pekerja sosial, advokat, psikolog,
psikiater, ahli pendidikan, hingga petugas khusus dari pembinaan masyarakat.
Bila anak menjadi korban
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen
PPPA) mendata 15.972 anak menjadi korban kekerasan sepanjang 2021. Jumlah
tersebut meningkat dari 2020 dan 2019.
Bahkan pada Januari 2022, Kemen PPPA mencatat 797 anak yang
menjadi korban kekerasan seksual. Data tersebut didapatkan dari laporan yang
diterima Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA).
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPA Nahar mengatakan terjadi
peningkatan jumlah laporan kekerasan anak dari tahun ke tahun. Menurut Nahar,
laporan meningkat sebab masyarakat mulai berani melaporkan kasus kekerasan yang
dialami anak-anak.
"Ini tren, di satu sisi jumlah
kasus semakin banyak terungkap. Di sisi lain tren positif karena masyarakat
sudah berani melapor kemudian ini berdampak pada angka di Simfoni yang
naik," kata Nahar dalam artikel berjudul Kemen PPPA: 797 Anak Jadi
Korban Kekerasan Seksual Sepanjang Januari 2022 di www.kompas.com.
Kepekaan orang tua dan masyarakat
dibutuhkan dalam perlindungan anak-anak. Bila ada kejadian kekerasan pada anak,
orang tua dan masyarakat wajib melapor ke pihak berwenang.
“Jika mengetahui dan tidak melapor,
sama artinya dengan membiarkan dan tidak menolong perempuan dan anak yang
menjadi korban kekerasan,” ujar Nahar.
Saat melapor, orang tua dan
masyarakat harus mendapat pendampingan dari lembaga atau dinas terkait. Pelapor
mendapatkan perlindungan.
Kemen PPPA menyediakan layanan
khusus penanganan kasus kekerasan pada anak. Yaitu SAPA 129. “Atau WhatsApp di
nomor 081111129129,” lanjut Nahar.
Anak
kurang kasih sayang berisiko jadi pelaku kekerasan
Kemen
PPPA merilis hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPAR)
pada 2018. Prevalensi pelaku kekerasan pada anak didominasi teman sebaya,
bahkan lebih tinggi ketimbang keluarga. Survei dilakukan pada anak-anak yang
berada di rentang usia 13 sampai 17 tahun.
“Anak
yang bertindak kriminal biasanya disebabkan oleh kurang kasih sayang, sehingga
mencari pemuasan psikologis di luar,” kata Psikolog Anak dan Remaja Irma
Gustiana dalam artikel berjudul Saat Anak Menjadi Korban dan Pelaku Kekerasan
di laman www.tirto.id.
Dari
sisi eksternal, lingkungan pergaulan menjadi penyebab anak-anak menjadi pelaku
kriminal. Salah satunya untuk mendapatkan pengakuan dari teman-teman sebaya
atau se-gengnya.
“Bila
mereka tidak dapat mengikuti pola pikir kelompoknya maka akan terjadi proses bullying
dan labelling (kekerasan emosional) bahkan berlanjut kepada kekerasan
fisik,” ungkap sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta Yuanita Aprilandini
Siregar.
Tak
hanya itu, korban kekerasan berpotensi dua kali lipat melakukan tindak
kekerasan saat dewasa. Hal itu berkontribusi pada siklus kekerasan
antargenerasi.
Pusiknas Bareskrim Polri juga memiliki sistem Piknas untuk mendukung kinerja Polri khususnya bidang pengelolaan informasi kriminal berbasis teknologi informasi dan komunikasi serta pelayanan data kriminal baik internal dan eksternal Polri dalam rangka mewujudkan Polri yang PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan).
--- Pusiknas Bareskrim Polri, Valid dan Tepercaya ---