Artikel
Kasus Pat di Babel: Pengingat Tidak Asal Sebarkan Konten di Media Sosial
04 December 2025
11 September 2025Ngeri, Rentetan Kasus Mutilasi di Jawa Timur
21 February 2025Ratusan Anak Terlibat Tindak Kriminal sejak Awal Tahun 2025
PERKEMBANGAN teknologi digital membuat berbagi informasi semakin mudah, tetapi kemudahan itu juga membuka risiko penyalahgunaan konten pribadi. Kemudahan itu justru membawa Pat (46) ke meja hukum. Gara-gara menyebarkan video asusila milik temannya ke media sosial tanpa izin, Pat kini terancam dihukum penjara.
Tindakan Pat menjadi pengingat bahwa tak semua video boleh disebarluaskan. Meskipun video atau konten itu muncul di media sosial, khususnya konten sensitif atau tak senonoh, pengguna tak bisa serta merta mengunggah ulang alias repost tanpa seizin pemilik konten.
Melanggar Etika dan Memicu Konsekuensi Hukum
Pat ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bangka Belitung karena menyebarkan video asusila yang diperolehnya dari seorang teman. Meski telah saling mengenal lama, korban tidak terima kontennya dibagikan tanpa persetujuan, sehingga melaporkan Pat ke pihak berwajib.
“Saat ini tersangka dan barang bukti satu unit handphone sudah diamankan di Mapolda untuk penyidikan lebih lanjut,” ujar Kabid Humas Polda Bangka Belitung Kombes Pol Fauzan Sukmawansyah, dikutip dari artikel Polisi Berhasil Amankan Pelaku Penyebar Video Asusila di Medsos di Babel di laman Tribratanews Polri.
Pat dijerat Pasal 45 Ayat (1) Juncto Pasal 27 Ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman hukuman hingga enam tahun penjara. Motif Pat masih didalami penyidik. Namun polisi menegaskan penyebaran konten asusila tanpa izin jelas melanggar etika dan hukum.
Tidak Semua yang Muncul di Media Sosial Boleh Disebarluaskan
Konten yang muncul di media sosial bukan secara otomatis dapat dibagikan ulang secara bebas. Sebab, sebagian besar konten memiliki pemilik, hak privasi, dan perlindungan hukum.
Pengguna media sosial harus mengetahui aturan dan konsekuensinya. Hanya karena mengunggah ulang konten tersebut, bisa-bisa pengguna media sosial malah harus berurusan dengan kepolisian.
Jangan asal mengunggah ulang (repost) konten atau video yang didapat. Bila pun ada konten menarik untuk diunggah ulang, sebaiknya:
- 1. Periksa sumber konten.
- 2. Minta izin pemilik.
- 3. Cek apakah konten mengandung informasi sensitif
- 4. Pertimbangkan dampak dan manfaatnya
- 5. Gunakan video asli, bukan reupload
- 6. Jangan repost konten viral yang menunjukkan seseorang dalam situasi memalukan, berbahaya, atau tanpa sadar sedang direkam
Pengguna media sosial pun harus paham bahwa ada beberapa konten yang dianggap sensitif dan sebaiknya tidak direpost, yaitu:
- 1. Konten bernuansa seksual atau asusila. Termasuk foto atau video intim, rekaman privat, atau percakapan pribadi bernuansa seksual.
- 2. Identitas pribadi. Seperti KTP, nomor telepon, alamat, pelat kendaraan, data sekolah atau kerja, hingga dokumen pribadi.
- 3. Wajah atau tubuh seseorang dalam situasi privat. Misalnya seseorang sedang tidur, menangis, sakit, mabuk, mandi, atau momen yang jelas tidak dimaksudkan untuk publik.
- 4. Percakapan atau rekaman suara tanpa izin, termasuk voice note, telepon, chat pribadi, dan DM.
- 5. Anak-anak dalam konteks yang dapat membahayakan mereka. Baik foto, video, maupun informasi identitas.
- 6. Konten kekerasan, perundungan, atau penghinaan. Apalagi yang memperlihatkan wajah pelaku atau korban.
Bila mendapatkan video atau konten yang mengandung unsur-unsur di atas, sebaiknya tidak menyebarkannya. Akan lebih bijak bila pengguna internet melaporkan video atau konten tersebut ke pihak berwajib untuk dilakukan penindakan lebih lanjut.
Ingat, Jejak Digital Bersifat Permanen
Satu unggahan bisa beredar tanpa batas. Bila sudah telanjur tersebar, maka akan sulit untuk menghentikannya. Unggahan itu bisa disalin, diunduh, disimpan, kemudian disebarluaskan di platform lain.
Dampaknya bisa bertahun-tahun meskipun penyebarnya sudah lupa mengenai unggahan tersebut. Untuk itu, pengguna internet wajib memikirkan lebih dulu mengenai konten tersebut sebelum memutuskan untuk mengunggahnya.
Termasuk Kejahatan Manipulasi Data dan Pornografi
Kasus Pat tidak hanya menyentuh ranah penyebaran konten asusila, tetapi juga berkaitan dengan kategori kejahatan manipulasi data dalam klasifikasi Pusiknas. Sebab, Pat mengakses, menyimpan, lalu mendistribusikan ulang konten pribadi milik korban tanpa persetujuan.
Tindakan ini termasuk bentuk penyalahgunaan data pribadi, termasuk data visual dan rekaman digital, yang dilindungi undang-undang.
Pusiknas Bareskrim Polri mencatat penyebaran video asusila masuk dalam ranah kejahatan pornografi. Sejak Januari sampai artikel ini ditulis, Senin 24 November 2025, Pusiknas mencatat Polri menangani 596 laporan kasus kejahatan tentang pornografi. Jumlah tersebut naik 17,55 persen dari periode yang sama di 2024. Sebab sejak Januari sampai November 2024, jumlah laporan kejahatan tentang pornografi sebanyak 507 kasus.
Tiga polda yang melakukan penindakan paling banyak sepanjang 2025 adalah:
- 1. Jawa Timur: 20 kasus
- 2. Sumatra Utara: 20 kasus
- 3. Jawa Barat: 19 kasus
Dalam rentang waktu itu pula, Polri menindak 755 terlapor kasus pornografi. Sementara jumlah korban yang melapor ke kantor polisi setempat yaitu 684 orang. Jumlah terlapor lebih banyak dari jumlah laporan dan korban. Data ini mengindikasikan satu laporan melibatkan lebih dari satu terlapor.
Sementara tindakan mengambil, mengolah, dan mempublikasikan ulang konten pribadi tanpa izin dapat dikategorikan sebagai manipulasi data. Pusiknas mencatat dalam periode Januari – November 2024, Polri menangani 12.408 laporan terkait kejahatan manipulasi data secara elektronik (ITE). Di periode yang sama di 2025, jumlah laporan mencapai 16.377 kasus, atau naik 31,98 persen.
Ada tiga polda yang melakukan penindakan paling banyak di sepanjang 2025 yaitu:
- 1. Metro Jaya: 9.051 kasus
- 2. Sumatra Utara: 2.052 kasus
- 3. Jawa Timur: 1.262 kasus
Sedangkan jumlah terlapor kasus manipulasi data mulai Januari sampai 24 November 2025 yaitu 20.272 orang. Angka korban yang melapor ke kantor polisi yaitu 18.438 orang.
Catatan Akhir
Kasus Pat kembali memberikan gambaran bahwa keamanan ruang digital bukan soal teknologi, tapi juga perilaku penggunanya. Setiap orang perlu lebih bijak menjaga data pribadi, menghindari pengunggahan identitas yang tidak perlu, serta memahami konsekuensi hukum dari setiap konten yang dibagikan.
Ruang digital bisa menjadi tempat yang sehat dan aman hanya jika penggunanya memahami batasan, menghormati privasi orang lain, dan tidak terlibat dalam penyebaran konten sensitif. Penegakan hukum tidak hanya ditujukan untuk menindak pelaku, tetapi untuk membangun ekosistem digital yang lebih aman dan beradab bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Tentang Pusiknas
Berdasarkan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15 ayat (1) huruf j, Polri berwenang menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal (Pusiknas).
Pusiknas berada di bawah Bareskrim Polri, dan berlandaskan pada Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pencabutan Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 15 Tahun 2010 mengenai Penyelenggaraan Pusat Informasi Kriminal Nasional di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pusiknas Bareskrim Polri memiliki sistem Piknas, yang berfungsi mendukung kinerja Polri di bidang pengelolaan informasi kriminal berbasis teknologi informasi dan komunikasi, serta menyediakan pelayanan data kriminal baik internal dan eksternal Polri.
Seluruh kegiatan Pusiknas diarahkan untuk mendukung terwujudnya Polri yang PRESISI: Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan.
--- Pusiknas Bareskrim Polri, Valid dan Tepercaya ---