Artikel

Kasus Pornografi, Prostitusi, dan Eksploitasi Cenderung Meningkat

SEJAK 2020, Polri menindak 221 anak yang menjadi korban pornografi, prostitusi, dan eksploitasi seksual di seluruh wilayah Indonesia. Para korban berusia dari 0 hingga 17 tahun, baik itu laki-laki maupun perempuan.

 

Data itu didapat dari laporan yang masuk ke EMP Pusiknas Bareskrim Polri pada 1 Januari 2020 hingga 25 September 2023. Data tersebut diakses pada Jumat 29 September 2023. Data menyebutkan 17,13 persen dari jumlah total korban pornografi, pornoaksi, dan eksploitasi seksual itu masih berusia di bawah 17 tahun.




 

Data pada EMP menunjukkan Polri menindak 1.491 laporan pornografi, prostitusi, dan eksploitasi seksual sejak 2020 hingga 25 September 2023. Pada 2020, jumlah laporan mencapai 270 kasus. Jumlah tersebut menurun pada 2021 menjadi 122 kasus. Namun pada 2022, jumlah tersebut naik hingga lima kali lipat. Sementara pada 2023, selama kurang dari sembilan bulan, Polri telah menindak 67,5 persen kasus pornografi, prostitusi, dan eksploitasi seksual dari jumlah laporan di 2022.

 

Sementara jumlah anak yang menjadi korban pornografi, prostitusi, dan eksploitasi seksual pun cenderung meningkat. Pada 2021, jumlah anak yang menjadi korban sebanyak 20 orang. Jumlah tersebut naik menjadi 103 orang di 2022. Sedangkan sepanjang 2023, sebanyak 79 anak menjadi korban.

 

Salah satu kasus prostitusi yang melibatkan anak-anak terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 2021. Saat itu, seorang pelajar SMP menawarkan layanan seksual melalui sebuah video yang viral di kalangan masyarakat. Video itu berdurasi enam detik. Memang berdurasi pendek. Tapi dampaknya sangat panjang bagi pelajar tersebut.

 

Polisi melakukan penyelidikan dan penyidikan. Polisi mendapati seorang pria yang usianya masih 17 tahun berada di belakang pelajar tersebut. Ia mengendalikan sang pelajar SMP untuk membuat video itu.

 

Pelajar SMP itu trauma setelah videonya viral. Ia pun kemudian dibawa ke rumah aman Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk Daerah (KPAID) Tasikmalaya. Ia mendapat bimbingan psikologis mengobati rasa traumanya.

 

“Dia agak sulit makan, mungkin karena trauma, malu, dan takut karena videonya tersebar serta viral,” ungkap Ato Rinanto, anggota KPAID yang mendampingi pelajar SMP itu dikutip dari artikel berjudul Pelajar SMP Tawarkan Layanan Seks, Terindikasi Korban Eksploitasi Seksual dan Titik Kritis Pendidikan Seks Anak diunggah di laman www.bbc.com/indonesia.

 

Pelajar SMP itu sempat beberapa kali berganti pasangan, diduga orang dewasa. Hasil penyelidikan menyebutkan pelajar SMP tersebut melakukan hal itu bukan karena latar belakang masalah ekonomi pada keluarga. Karena orang tuanya masih beraktivitas bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 

Persoalan utamanya, ujar Ato, adalah pola asuh. “Kontrol yang kurang. Kemudian orang tua tidak menyadari betul tentang bahaya gadget dan sebagainya,” ujar Ato.

 



 

Pada 2013, pemerintah mengeluarkan kebijakan menutup lokalisasi prostitusi di berbagai daerah. Ratusan lokasi pelacuran ditutup. Pemerintah menggelontorkan dana hingga miliaran rupiah untuk membersihkan Indonesia dari praktik prostitusi.

 

Satu di antaranya yaitu Dolly, lokalisasi yang berada di Surabaya, Jawa Timur. Dolly merupakan salah satu lokalisasi terbesar di Asia. Pemerintah pun menjalankan berbagai program untuk memulangkan penghuninya ke daerah asal dan menjalankan program rehabilitasi sosial.

 

Namun usaha pemerintah itu mendapatkan tantangan. Di era serba digital, prostitusi malah beralih dengan memanfaatkan jaringan internet, aplikasi berbicara atau chatting, dan media sosial. Ada yang memanfaatkan aplikasi Line, WhatsApp, Michat, dan Telegram. Ada pula yang menggunakan media sosial Twitter.

 

Dalam tulisan opini berjudul Prostitusi di Dunia Maya di laman www.jawapos.com, penulis menyebutkan prostitusi via aplikasi chatiing bersifat lebih terbatas dan semi tertutup. Pelanggan-pelanggan yang tergabung dalam grup sudah terseleksi. Penjaja alias muncikari mengunggah foto-foto ‘anak asuh’ dengan berbagai pose menarik di dunia maya.




 

Terkini, seorang ibu rumah tangga berinisial FEA ditangkap Polda Metro Jaya. Ia ditetapkan sebagai tersangka karena merekrut puluhan anak sebagai pekerja seks komersil (PSK). FEA mempromosikan anak-anak tersebut melalui Telegram atau Line. Ia mengunggah foto anak-anak itu. Bila ada pelanggan yang berminat, FEA akan menghubungi korban.

 

Lindungi anak dari prostitusi dan pornografi

Prostitusi dengan tersangka FEA kini menjadi sorotan. Apalagi, FEA melibatkan anak-anak sebagai PSK. Peristiwa itu menyadarkan orang tua untuk mempertajam alarm mengantisipasi dampak prostitusi dan pornografi pada anak.

 

Ada beberapa pemicu yang membuat anak-anak terlibat dalam prostitusi. Artikel berjudul Marak Prostitusi Anak, Ahli Sebut 3 Faktor Pemicu tak Terelakkan di laman www.kompas.com menyebutkan pergaulan sebagai salah satu pemicunya. Pergaulan bisa dari dunia nyata maupun dunia maya yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak.

 

Kemiskinan menjadi faktor lain. Anak yang mengalami kesulitan ekonomi pada keluarganya bisa saja mengambil jalan pintas dengan menerima tawaran muncikari untuk memperbaiki kehidupan mereka. Itu terjadi bila anak tak mendapatkan edukasi yang tepat.

 

Faktor lain adalah lingkungan dan sejarah dalam keluarga. Anak yang tinggal di lingkungan keluarga dengan kekerasan seksual, atau bahkan menjadi korban kekerasan seksual, berpotensi terjerat prostitusi.

 

 

Selain itu, media sosial menjadi pintu gerbang prostitusi online. Seperti pada kasus FEA, tersangka berkenalan dengan korban melalui media sosial. FEA mendekati korban sehingga korban merasa nyaman. FEA menargetkan anak-anak yang keluarganya tidak harmonis alias broken home dan anak-anak yang kekurangan perhatian orang tua.

 

Lantaran itu, orang tua perlu mewaspadai dan mengontrol penggunaan media sosial pada anak-anak. Bila orang tua memberikan izin pada anak untuk menggunakan media sosial, maka perlu dibuatkan kesepakatan dan aturan. Misalnya, orang tua berteman dengan anak di media sosial. Sehingga orang tua dapat memantau aktivitas buah hati di dunia maya.

 

Minta anak-anak untuk berhati-hati saat berteman di dunia maya. Mereka hanya boleh berteman dengan akun milik orang yang mereka kenal di dunia nyata. Sebab, bisa saja pengguna akun di dunia maya memalsukan identitas untuk mendekati anak.

 

Biasakan anak-anak bersikap bijak saat mengunggah foto dan video di media sosial. Sebab video dan foto itu dapat digunakan oleh orang tak bertanggung jawab meskipun anak-anak telah menghapus unggahan aslinya.

 

Terbiasa menonton konten pornografi pun dapat memicu tingkat libido pada anak-anak menjadi lebih tinggi. Anak-anak yang terpapar pornografi cenderung memiliki daya imajinasi lebih liar. Bila salah menanggapi, bukan tidak mungkin anak terjerumus ke kasus prostitusi.

 

Lantaran itu, orang tua perlu secara aktif mengawasi dan mendisiplinkan tayangan untuk anak-anak, baik di televisi maupun media online. Orang tua perlu membatasi anak-anak menonton tayangan di televisi dan internet.

 

Sebagai informasi, sesuai dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15 ayat (1) huruf j, Polri berwenang menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal (Pusiknas). Pusiknas berada di bawah Bareskrim Polri serta berlandaskan regulasi Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pusat Informasi Kriminal Nasional di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

Pusiknas Bareskrim Polri memiliki sistem Piknas untuk mendukung kinerja Polri khususnya bidang pengelolaan informasi kriminal berbasis teknologi informasi dan komunikasi serta pelayanan data kriminal baik internal dan eksternal Polri dalam rangka mewujudkan Polri yang PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan).

 

--- Pusiknas Bareskrim Polri, Valid dan Tepercaya ---