Artikel
Waspada Sosmed, Pintu Masuk Tindak Pidana Perdagangan Orang
22 September 2022

SEORANG perempuan asal Garut, Jawa Barat, patut bersyukur. Niatnya,
perempuan berinisial NAS itu hendak membeli sebuah barang melalui sistem cash
on delivery (COD), tapi ia malah nyaris menjadi korban tindak pidana
perdagangan orang (TPPO) alias human trafficking. Beruntung, NAS lepas
dari praktik perdagangan orang.
Kasus itu diceritakan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Garut
AKP Dede Sopandi pada Juni 2022. Sekelumit cerita itu ditulis dalam sebuah
artikel berjudul Kisah Perempuan Garut yang Lolos dari Mafia Perdagangan Orang
di laman www.republika.co.id.
“Tersangka telah mencoba perbuatan pencabulan terhadap korban
perempuan berinisial NAS (19), yang tadinya akan dijual kepada lelaki hidung belang,”
ungkap AKP Dede.
Kejadian bermula saat NAS mengakses media sosial dan berkenalan
dengan seorang pria berinisial IR (29) pada akhir 2021. Sejak itu, keduanya
kerap berkirim pesan dan bertukar nomor ponsel.
April 2022, tersangka mengunggah sebuah topi. Tersangka mengaku
itu sebagai barang dagangannya. NAS berniat membeli topi itu dengan sistem
pembayaran melalui pertemuan alias COD. Keduanya janji bertemu di Alun-Alun
Garut. Tapi IR tak membawa topi dan malah mengajak NAS menemui temannya.
Korban menolak namun tersangka berjanji akan mengantarnya pulang.
Bukannya pulang, IR membawa NAS ke tempat lain. IR menawarkan sejumlah uang
dengan syarat NAS menemani temannya di sebuah penginapan untuk berhubungan seks
dan menenggak minuman keras.
NAS menolak dengan tegas. IR terus menggoda dengan cara memeluk
dan melakukan pelecehan pada tubuh NAS. NAS berusaha kabur namun gagal. NAS
juga mendengar IR menelepon temannya. IR menawarkan NAS ke temannya dengan
bayaran Rp300 ribu.
Korban terus berusaha menolak. Hingga akhirnya, NAS kabur,
bersembunyi, dan meminta pertolongan petugas keamanan untuk diantar pulang.
Lalu, korban melaporkan kasus itu ke Polres Garut.
“Kami jerat dengan tersangka Pasal 298 juncto Pasal 290 ayat 1
KUHP. Ancaman kurungan 9 tahun,” lanjut AKP Dede.
AKP Dede menjelaskan TPPO belum terjadi berdasarkan hasil
pemeriksaan dari saksi, korban, dan tersangka. Korban sudah lebih dulu kabur
dan menyelamatkan diri.
Pelaku manfaatkan media sosial
Namun, kejadian tersebut tidak boleh disepelekan. Kisah NAS bukan
satu-satunya. Sebagian besar, pelaku TPPO kebanyakan menggunakan media sosial
untuk menggaet korban. Melalui media sosial, pelaku TPPO mudah memalsukan
identitas.
“Mereka (pelaku) juga menghilangkan identitas, ini orang mana tidak
diketahui karena lewat digital itu perekrutannya untuk menghilangkan identitas
pelaku,” ungkap Project Clerk International Organization for Migration
(IOM) Sukabumi Fitri Lestari dikutip dari artikel berjudul Wanita Sukabumi jadi
Target Pelaku Perdagangan Manusia di laman www.detik.com.
Modus rekrutmen secara daring atau online melalui media
sosial pun digunakan pelaku untuk menjerat korban. Hal itu dialami warga
Indonesia yang menjadi korban TPPO di Kamboja. Mereka terjebak dalam sindikasi
perdagangan yang dilakukan jaringan di Indonesia. Akhir Juli 2021, sindikat
tersebut diungkap Kedutaan Besar RI di Phnom Penh dan Kepolisian Kamboja.
Sebanyak 62 warga Indonesia yang disekap di Sihanoukville dibebaskan.
“Jaringan ini terkoneksi dengan yang ada di Kamboja melalui media
sosial,” kata Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah
dikutip dari artikel berjudul WNI yang Disekap di Kamboja Tergiur Lowongan
Kerja di Media Sosial.
Pelaku TPPO terancam pidana 15
tahun penjara
Indonesia memiliki aturan khusus terkait tindak pidana perdagangan
orang (TPPO). Yaitu Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang. Aturan itu menyebutkan perdagangan orang adalah tindakan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang. Tindakan itu disertai dengan ancaman kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penyalahgunaan
kekuasaan, hingga penjeratan utang.
Pelaku TPPO, dalam Pasal 2, diancam dengan pidana penjara paling
lama 15 tahun. Pelaku juga dijerat dengan pidana denda paling sedikit Rp120
juta.
Ancaman itu berlaku pada pelaku TPPO yang membawa orang ke luar
negeri secara ilegal. Warga yang mengangkat anak dengan tujuan eksploitasi pun
dijerat pidana.
Sejak awal 2022, Polri menindak 27 TPPO di dalam negeri dan
melalui sistem online atau dalam jaringan (daring). Data itu didapat Pusiknas Bareskrim Polri
dari e-MP Robinopsnal.
Penindakan paling banyak dilakukan di Mei 2022 sebanyak 11 kasus.
Sedangkan satuan kerja yang paling banyak menindak perdagangan orang yaitu
Polda Jawa Timur sebanyak 9 kasus.
Sebagai informasi, sesuai dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15 ayat (1) huruf j, Polri
berwenang menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal (Pusiknas). Pusiknas berada
di bawah Bareskrim Polri serta berlandaskan regulasi Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Pusat Informasi Kriminal Nasional di Lingkungan Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pusiknas Bareskrim Polri memiliki sistem Piknas untuk mendukung
kinerja Polri khususnya bidang pengelolaan informasi kriminal berbasis
teknologi informasi dan komunikasi serta pelayanan data kriminal baik internal
dan eksternal Polri dalam rangka mewujudkan Polri yang PRESISI (Prediktif,
Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan).
--- Pusiknas Bareskrim Polri,
Valid dan Tepercaya ---